PWM Bengkulu - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Bengkulu
.: Home > Artikel

Homepage

BUNG KARNO DAN SI “CINA ITU” (Bagian 1)

.: Home > Artikel > PWM
16 Februari 2016 19:10 WIB
Dibaca: 1643
Penulis : Hardiansyah, S.Pd

Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang telah berdiam dan menetap cukup lama di Indonesia. Migrasi mereka telah dimulai dari zaman Sriwijaya bahkan mungkin lebih tua lagi daripada itu. Mereka pun dalam sejarahnya terbagi menjadi dua yaitu “Cina Totok” yang memang lahir di daratan Cina dan menggunakan bahasa Cina dan yang selanjutnya adalah “Cina peranakan” yang merupakan keturunan dari orang-orang cina. Golongan kedua ini adalah orang-orang tionghoa yang terkadang sudah mengalami asimilasi dengan penduduk dari suku bangsa lainnya di Indonesia. Mereka terkadang tidak bisa lagi berbahasa Cina bahkan tak jarang kita temukan mereka lebih fasih menggunakan bahasa daerah setempat.
 
 
Berbicara masalah etnis Tionghoa di Bengkulu –yang merupakan daerah yang banyak disorot dalam tulisan ini -, setidaknya ada tiga waktu dan pola migrasi mereka ke Bengkulu, yaitu pertama, pada abad ke 16 motif mereka datang ke Bengkulu adalah untuk berdagang. Hal yang memudahkan mereka adalah adanya izin tinggal oleh Inggris di sekitar Benteng Marlborough yang kemudian berubah menjadi Kampung Cina. Kedua, pada abad ke 19, gelombang migrasi kedua pun hadir. Motif mereka untuk datang ke Bengkulu adalah untuk merubah nasib mengingat perkebunan-perkebunan lada, the dan hasil bumi lainnya berkembang di Bengkulu, belum lagi dibukanya tambang emas di Lebong yang membutuhkann tenaga buruh cukup besar. Perlu dicatat pada fase ini banyak dari mereka yang menjadi buruh di pelabuhan, di perkebunan, maupun di tambang emas. Dan pola migrasi yang ketiga adalah pada tahun 1998-2000an. Tahun ini  adalah tahun-tahun kelam bagi etnis Tionghoa karena gelombang anti-cina mencapai titik kulminasinya. Mereka memilih Bengkulu sebagai tempat “pelarian” mereka karena Bengkulu dinilai lebih kondusif dan lebih aman dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia (Dedi HP : 2014, hal 13).
 
 
Bengkulu tidak pula bisa lepas dari spirit kebangsaan yang luar biasa selain apa yang telah kita jabarkan di atas. Beberapa tokoh nasional lahir dari tanahnya. Sebut saja ibu Fatmawati dan Prof. Hazairin (yang merupakan blesteran, ayah Bengkulu ibu orang Minang). Selain itu suntikan semangat perlawanan didapat dari tokoh-tokoh yang dibuang dan pernah hadir di Bengkulu antara lain adalah Tumenggung Wiryadiningrat dan Raden Sangnata yang merupakan putra dari Cakraningrat Panembahan Bangkalan Madura pada abad ke XVIII dimana ayah mereka ditawan oleh Belanda di Tanjung Harapan Afrika (Setiyanto : 2015). Selain itu ada pula tokoh buangan seperti Tumenggung Sura Jenggala dan Pangeran Kusumanegara yang terlibat perang Diponegoro serta Sentot Alibasja. Di masa pergerakan ada AJ Paty, Ida Bagus Arka dan yang terakhir adalah Bung Karno. Tokoh terakhir inilah yang meniupkan nafas kebangsaan paling kencang di sini dan menarik untuk disimak kesehariannya di Bengkulu serta sahabat – sahabat dekatnya dimana Bung Karno menitipkan semangat kebangsaan itu. Dan menariknya salah satu dari sahabatnya itu adalah orang tionghoa yang dalam masa-masa selanjutnya memainkan peran yang tidak kecil bagi Bengkulu dan bagi Indonesia.
 
 
Tujuan tulisan ini adalah untuk menghilangkan sebutan “pri“ (pribumi) dan “non-pri” serta menunjukkan bahwa bangsa yang besar ini berdiri dengan sumbangan serta jasa banyak orang termasuk etnis tionghoa yang selalu dijadikan “kambing hitam” . Munculnya gesekan ini dari masa ke masa sesungguhnya tidak lepas dari kebijakan-kebijakan politik yang kurang bijak bahkan terkesan disengaja. Padahal jika kita sedikit mau meletakkan telinga kita ke bumi, asimilasi warga tionghoa dan warga lainnya bisa jadi lebih kuat dari apa yang kita bayangkan. Mengutip kata ki Hadjar, Indonesia untuk siapapun yang mengaku dirinya Indonesia, mencintai Indonesia walaupun ia orang Belanda ataupun orang Cina.
 
 
 
“ Si Cina itu”
           
           

Salah satu sahabat dekat Bung Karno selama pembuangannya di Bengkulu adalah seorang Tionghoa. Dialah Oey Tjeng Hien. Namun sayangnya beberapa literaur yang penulis baca dan tela’ah sedikit sekali dalam menyinggung nama ini. Pertama yaitu M. Ali Hanafiah dengan bukunya berjudul Bung Karno dalam pengasingannya di Bengkulu. Nama Oey Tjeng Hien muncul ketika membahas Bung Karno yang dijemput oleh Jepang ke Padang yang sempat mampir di Bengkulu dan menginap di rumah Oey Tjeng Hien. Buku Sejarah Pendidikan Bengkulu yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1980 an lebih jelas lagi menguak sosok Oey Tjeng Hien walaupun tidak selengkap yang kita inginkan. Namanya muncul pada saat membahas pendiri Sekolah Muhammadiyah di tahun 1928 dan menjelaskan tentang Konsul kedua Muhammadiyah setelah bapak Yunus Djamaludin. Begitu pula dengan Buku Prof. H. Abdullah Siddik yang berjudul “Sejarah Bengkulu 1500-1990”, nama Oey Tjeng Hien seolah tak disinggung saat hijrahnya para pejabat Bengkulu dan sumatera selatan ke Muara Aman untuk bergerilya. Sebelumnya pun M.Z Rani dalam buku Perlawanan Terhadap Penjajahan dan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bengkulu, absen dengan nama ini.

 

Siapa Oey Tjeng Hien atau yang lebih dikenal dengan nama Babadek oleh masyarakat Kaur ini atau Haji Abdul Karim Oey ini ? Oey Tjeng Hien dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1905, di Padang Sumatera Barat. Sejak kecil ia diasuh oleh abang dan kakak iparnya. Menginjak dewasa, ia mencoba peruntungannya di Bintuhan –sekarang Kabupaten Kaur--. Di Bintuhan inilah ia mendapatkan hidayah dan memeluk agama Islam. Sebagai seorang pedagang, ia sering pula bertandang ke tanah Jawa dan bertemu dengan A.Hassan, A.M Sangadji, Syekh Ahmad Syurkati, M. Sabirin dan H Zamzam (PERSIS). Diakuinya dalam autobiografinya bahwa Syekh Ahmad Syurkati dan A.M Sangadji menempati posisi khusus di hatinya. Dari sinilah pemikiran kebangsaan dan rasa nasionalisme Oey mulai terbentuk. Setelah masuk Islam, ia privat agama dengan Fikir Daud, seorang tokoh pembaharuan Islam yang berasal dari Minangkabau. Fikir Daud ini dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang terkenal di kabupaten Kaur.

 

Darah dan nafas pergerakan terus bergelora dalam diri Oey, tak lama kemudian bersama-sama dengan guru privatnya dan beberapa tokoh pembaharuan Islam di Bintuhan, ia mendirikan Muhammadiyah. Mulailah ia berdakwah keliling Bintuhan dan Kaur. Muhammadiyah pun semakin berkembang sampai ke daerah-daerah terpencil di Kaur itu. Namun hal ini bukanlah tanpa hambatan. Beberapa kali nyawanya harus terancam dengan orang-orang yang tidak senang dengan gaya dakwahnya, Muhammadiyah ataupun sikapnya yang anti kolonial Belanda itu. Sikapnya yang akhirnya menjurus pada sikap non-kooperatif dengan Belanda membuat Muhammadiyah Bintuhan mendapatkan perhatian dari pemerintrah Hindia- Belanda pada masa itu. Sampai-sampai Haji Muchtar utusan hoofd Beestur Muhammadiyah harus turun tangan tiga kali bolak-balik ke Bintuhan untuk menenangkan gejolak politik yang mulai panas di sana. Dan akhirnya kehadiran Haji Muchtar memang dapat menenangkan situasi dan kondisi yang ada.

 

Walaupun Oey Tjeng Hien adalah orang Cina dari Padang pula, namun dengan kearifan, kebijaksanaan, kedermawanan dan kedekatannya dengan masyarakat membuatnya dicintai oleh masyarakat Bintuhan. Hal ini terbukti ketika Haji Muchtar datang membawa pesan Residen untuk mengganti dan memberhentikannya dari ketua Muhammadiyah cabang Bingtuhan. Tapi apa yang terjadi ? semua anggota Muhammadiyah yang ada di sana menolak dan berjanji untuk keluar dari Muhammadiyah jika Oey Tjeng Hien dipecat.

 

Bersama  Bung Karno di Bengkulu
 
 
Tahun 1938, pemerintah Hindia-Belanda resmi memindahkan Bung Karno dari Endeh ke Bengkulu. Kedatangan Bung Karno memang telah ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan di sini. Tak lama kemudian, Bung Karno pun bergabung dengan Muhammadiyah Bengkulu yang saat itu konsul Muhammadiyah wilayah Bengkulu adalah bapak Yunus djamaludin. Oey sendiri telah pernmah mendengar tentang Bung Karno dari tuturan A. Hassan saat terakhir kali ia berjumpa dengan guru agama PERSIS (Persattuan islam), sehingga sedikit banyak telah memahami pemikiran dan tindakan Bung Karno yang telah dilakukannya.
 
 
Tersebutlah bahwa Bapak H. Yunus Djamaludin selaku konsul sakit payah. Pengurus Muhammadiyah pun mengajak Bung Karno untuk berembuk siapa kiranya yang akan menggantikan bapak Yunus Djamaludin ini sebagai konsul. Pilihan Bung Karno jatuh pada Oey Tjeng Hien – senbenarnya awalnya diusulkan oleh Hassan Din, yang nantinya menjadi mertua Bung Karno-. Rupanya Bung Karno telah banyak pula mendengar tentang gerakan Oey Tjeng Hien selama di Bintuhan, sehingga merasa pula perlu dekat dengan tokoh Muhammadiyah yang satu ini. Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang hadir pun sepakat dengan usulan Bung Karno tersebut, dan segera melayangkan kabar tersebut kepada Oey yang berada di Bintuhan. Namun, Oey yang saat itu sedang mengorganisi Muhammadiyah, menolak dengan alasan bahwa mata pencahariannya ada di Bintuhan dan belum melakukan pengkaderan secara baik di Muhammadiyah Bintuhan untuk menggantikan dirinya. Namun karena Bung Karno terus mendesak  maka akhirnya hati Oey luluh. Apalagi Bung Karno menjanjikan ingin membuat perusahaan mebel bersama-sama dengan Oey dengan mengandalkan keahlian Bung Karno dalam bidang arsitektur. Usaha tersebut dibukanya di wilayah Sukamerindu sedangkan Oey sendiri tinggal di daerah Tebek.
 
 
Setelah Oey Tjeng Hien di Bengkulu, mulailah ia mengorganisir Muhammadiyah yang semakin meluas dan berkembang hingga ke Lubuk Linggau , Lahat, Pagar Alam dan Karang Dapo. Sedangkan Bung Karno duduk sebagai ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Bersama-sama dengan Bung Karno pula akhirnya Muhammadiyah Bengkulu dapat melangsungkan Konferensi daeratul Kubro se sumatera. Diundanglah Teuku Hassan, konsul dari Aceh, Buya Hamka dari Medan, AR Sutan Mansyur dari Sumatera Barat, Abdul Mu’in dari Tapanuli, Riau dan Jambi dan RZ Fananie konsul Palembang dan Lampung (Oey Tjeng Hien : 1982 hal 68). Saat itu warga Bengkulu tercengang melihat acara yang sangat besar ini. Mereka tak menyanmgka bahwa daerah mereka dapat melaksanakan acara sebesar ini. Namun karena acara inilah Bung Karno sempat “ditahan” satu malam di Benteng Marlborough. Dengan sengala keberanian yang dimiliki, Oey maju untuk membebaskan sahabatnya itu dan memang benar akhirnya ia mampu membebaskan Bung Karno.
 
 
 
Hubungan Pribadi dengan Bung Karno
 
Hubungan Bung Karno dengan Oey terjalin dengan erat. Selain sama-sama satu pergerakan dan sama-sama memiliki perusahaan yang sama, Oey Tjeng Hien ternyata adalah salah satu orang terdekat Bung Karno yang mengetahui bagaimana hubungan cinta segittiga Bung Karno – Inggit – Fatmawati (Putri Hassan Din, seorang tokoh Muhammadiyah Bengkulu). Ia pula yang menjadi tempat curhat ibu Inggit dan Bung Karno tentang masalah keluarganya. Oey juga yang berusaha meredam pertikaian Bung Karno dan ibu Inggit saat mereka ribut besar. Oey pula yang menjemput Bung Karno dari Padang yang di jemput oleh Jepang. Pada awalnya, Belanda mengungsikan Bung Karno ke Padang agar tidak dimanfaatkan oleh Jepang saat mereka masuk ke Indonesia. Oey pun menemani pula Bung Karno selama di Palembang. Tak salah jika kemudian Bung Karno menganggap Oey sebagai saudaranya.
 
 
Kisah cinta Bung Karno belum lagi selesai. Dengan bantuan penguasa Jepang di Jakarta, Bu Inggit dan Bung Karno akhirnya bercerai. Dikirimlah surat kepada Oey tentang niatnya untuk meminang Fatma. Surat Bung Karno itu ia perlihatkan pada Hassan Din  dan istrinya. Namun muncul lagi masalah. Fatma tidak mau jika tidak Bung Karno yang datang ke Bengkulu meminangnya. Di bujuk pun Fatma tetap tak mau. Maka dengan hati yang kesal Oey pun bermaksud mengirimkan telegram ke Jakarta bahwa Fatma menolak pinangannya. Namun di tengah jalan Oey bertemu dengan kaka Hassan din Yusuf Din. Bersama Yusuf inilah akhirnya Oey membuat sebuah taktik. Yusuf diminta untuk menemui Fatma dan berkata bahwa Bung Karno jika pinangannya dio tolak akan menikah dengan wanita yang lebih cantik dan lebih pintar dari Fatma di tanah Jawa. Akhirnya hati Fatma luluh, dan ia pun menikah secara wakil dengan Sardjono yang pada awalnya akan diwakilkan oleh Oey. Namun karena tidak mau dianggap pengkhianat oleh Bu Inggit, maka Oey menolak hal itu.
 
 
Kedeakatan Bung Karno dan Oey berajalan mulus. Hingga pengakuan kedaulatan Indonesia, Oey tetap menyertai Bung Karno. Bung Karno pun mengizinkan Oey untuk menggunakan nama anaknya Megawati untuk nama perusahaan ekspor dan impor yanng akan digelutinya. Demikian pula saat Muhammadiyah berada dalam kondisi-kondisi sempit karena bersebrang jalan dengan Bung Karno, salah satu juru bicara yang berusaha melunakkan hati Bung Karno adalah Oey Tjeng Hien. Bung karno pun berkonsultasi dengan Oey tentang menteri-menteri yang akan ditunjuk untuk menempati beberapa pos menteri. Hal ini terjadi di tahun 1964. Termasuk dalam mendesak presiden untuk hadir dalam muktamar Muhammadiyah di Bandung.
 
 
Bersambung
 
(Pada bagian II akan disajikan jasa-jasa besar Oey Tjeng Hien bagi Bengkulu dan bagi Bangsa Indonesia ini)
 

 

* Penulis adalah penikmat sejarah dan Koordinator  Public Relationship Yayasan Mahira Salimah.

Tags: sejarah , muhammadiyah , bengkulu
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website